SEGERA TERTIBKAN STATUS “COAST GUARD” BAKAMLA KARENA MELANGGAR HUKUM DAN MERUSAK REPUTASI INDONESIA DI DUNIA INTERNASIONAL
Jakarta 06 Oktober 2024
Oleh : Laksda TNI (Purn) Adv Soleman B. Ponto, ST, SH, MH, CPM, CParb.
Pendahuluan
Penggunaan istilah “Coast Guard” oleh Badan Keamanan Laut Republik Indonesia (Bakamla) telah menimbulkan berbagai persoalan hukum yang serius, terutama terkait dengan keabsahan status tersebut berdasarkan peraturan perundang-undangan Indonesia. Undang-Undang No. 32 Tahun 2014 tentang Kelautan, yang menjadi dasar pembentukan Bakamla, tidak menyebutkan bahwa Bakamla adalah “Coast Guard”. Oleh karena itu, penggunaan istilah “Coast Guard” oleh Bakamla, baik pada kapal-kapalnya maupun seragam personelnya, merupakan pelanggaran hukum yang harus segera ditertibkan. Tindakan ini tidak hanya berdampak pada aspek hukum nasional, tetapi juga dapat merusak reputasi Indonesia di kancah internasional, serta mengganggu pelaksanaan tugas Kesatuan Penjagaan Laut dan Pantai (KPLP) yang kini memiliki kewenangan tunggal dalam penegakan hukum di laut.
Dasar Hukum Penggunaan Nama “Coast Guard”
Secara hukum, Bakamla didirikan berdasarkan UU No. 32 Tahun 2014 tentang Kelautan. Namun, dalam undang-undang tersebut tidak ada satu pun pasal yang menyebutkan bahwa Bakamla memiliki status sebagai “Coast Guard”. Ini berarti, penggunaan istilah “Coast Guard” oleh Bakamla adalah tindakan yang tidak sah secara hukum. Tindakan tersebut dapat dikategorikan sebagai pemalsuan identitas yang bertentangan dengan Pasal 263 KUHP tentang pemalsuan dokumen dan identitas.
Pemimpin atau pihak yang bertanggung jawab atas tindakan ini juga dapat dikenakan sanksi berdasarkan Pasal 55 KUHP tentang tanggung jawab komando, karena sebagai pimpinan atau pengambil keputusan, mereka bertanggung jawab atas penggunaan identitas yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Kewenangan Tunggal KPLP Berdasarkan Revisi UU No. 17 Tahun 2008
Revisi terhadap UU No. 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran telah memperjelas bahwa Kementerian Perhubungan, melalui KPLP, memiliki kewenangan tunggal dalam pengawasan, penegakan hukum, serta pemeriksaan kapal di laut. Revisi ini, yang melibatkan pasal-pasal kunci seperti Pasal 276, 277, 278, dan 281, memberikan mandat penuh kepada KPLP untuk melaksanakan semua fungsi penegakan hukum terkait keselamatan dan keamanan pelayaran, serta pencegahan pencemaran di perairan Indonesia.
Dengan demikian, kehadiran Bakamla yang menggunakan status “Coast Guard” secara tidak sah justru berpotensi mengganggu pelaksanaan tugas KPLP, yang memiliki otoritas resmi dan legal dalam menegakkan hukum di laut. Ini juga menciptakan ketidakjelasan mengenai otoritas hukum di laut, yang pada akhirnya merusak sistem penegakan hukum maritim Indonesia.
Implikasi Internasional dari Penggunaan Status “Coast Guard” Tanpa Dasar Hukum
Dalam kancah internasional, negara-negara dengan Coast Guard resmi menganggap penting keberadaan lembaga maritim yang memiliki legitimasi hukum yang jelas. Kehadiran Bakamla dengan status “Coast Guard” tanpa dasar hukum yang sah dapat menimbulkan kebingungan dan ketidakpercayaan dalam kerja sama internasional. Negara-negara lain mungkin akan mempertanyakan keabsahan operasi Bakamla dalam berbagai kegiatan maritim internasional, terutama dalam patroli bersama, operasi penyelamatan, atau penegakan hukum internasional di laut.
Ini tidak hanya merusak reputasi Indonesia di mata dunia, tetapi juga dapat menghambat kerja sama maritim, yang sangat penting bagi keamanan dan keselamatan pelayaran global. Kejelasan identitas lembaga yang berwenang di laut adalah syarat mutlak dalam menjaga hubungan baik antarnegara, khususnya dalam kerja sama penegakan hukum di laut.
Gangguan terhadap Pelaksanaan Tugas KPLP
Penggunaan status “Coast Guard” oleh Bakamla juga dapat mengganggu pelaksanaan tugas KPLP, yang telah diberikan kewenangan penuh dalam penegakan hukum di laut oleh revisi UU No. 17 Tahun 2008. KPLP, sebagai lembaga yang sah dan diakui oleh hukum Indonesia untuk mengawasi dan menegakkan aturan keselamatan pelayaran, dapat terhambat oleh kehadiran Bakamla yang mengklaim status “Coast Guard”. Ini dapat menciptakan benturan wewenang di lapangan, yang justru memperumit penegakan hukum maritim di Indonesia.
Dalam menjalankan tugasnya, KPLP berwenang memeriksa, menahan, dan menegakkan hukum terhadap kapal yang melanggar peraturan keselamatan pelayaran, baik dari aspek keselamatan kapal, awak kapal, maupun muatan. Kehadiran Bakamla yang tidak sah sebagai “Coast Guard” hanya akan memperkeruh proses hukum ini dan berpotensi menyebabkan konflik antar lembaga.
Tanggung Jawab Hukum dan Potensi Sanksi
Penggunaan status “Coast Guard” oleh Bakamla tanpa dasar hukum yang jelas dapat dikategorikan sebagai pelanggaran hukum, baik dalam ranah pidana maupun administrasi. Dalam konteks pidana, tindakan ini dapat dijerat dengan Pasal 263 KUHP tentang pemalsuan identitas, yang mengatur bahwa setiap orang yang dengan sengaja menggunakan identitas palsu dapat dipidana dengan hukuman penjara hingga 6 tahun. Selain itu, pihak yang bertanggung jawab atas penggunaan identitas “Coast Guard” oleh Bakamla dapat dikenai sanksi berdasarkan Pasal 55 KUHP tentang tanggung jawab komando, yang berarti bahwa pimpinan Bakamla juga bisa dimintai pertanggungjawaban atas tindakan bawahannya.
Di ranah administrasi, pemerintah melalui Kementerian Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan harus segera mengambil langkah tegas untuk menghentikan penggunaan identitas “Coast Guard” oleh Bakamla dan menertibkan segala bentuk kegiatan yang melibatkan penggunaan identitas tersebut. Jika tidak segera ditindak, hal ini akan terus menimbulkan persoalan hukum yang berpotensi merugikan negara.
Kesimpulan
Penggunaan status “Coast Guard” oleh Bakamla tanpa dasar hukum yang jelas merupakan pelanggaran hukum yang harus segera ditertibkan. Hal ini tidak hanya melanggar peraturan nasional yang berlaku, tetapi juga merusak reputasi Indonesia di dunia internasional dan mengganggu pelaksanaan tugas KPLP yang telah diberi kewenangan tunggal dalam penegakan hukum di laut berdasarkan revisi UU No. 17 Tahun 2008. Pemerintah Indonesia perlu segera menertibkan status Bakamla dan memastikan bahwa hanya lembaga yang memiliki dasar hukum yang sah yang dapat beroperasi sebagai otoritas maritim di perairan Indonesia. Langkah ini tidak hanya akan memperkuat sistem hukum maritim nasional, tetapi juga akan meningkatkan kredibilitas dan kepercayaan internasional terhadap Indonesia sebagai negara maritim yang patuh terhadap hukum. (saptana/2024)