KPLP SEBAGAI KEWENANGAN TUNGGAL DALAM PEMERIKSAAN KAPAL: EFISIENSI, KEPASTIAN HUKUM, DAN KOORDINASI LEMBAGA DALAM PELANGGARAN HUKUM NON-PELAYARAN
Jakarta 06 Oktober 2024
Oleh : Laksda TNI (Purn) Adv soleman B. Ponto, ST, SH, MH, CPM, CParb
Pendahuluan
Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, Indonesia sangat bergantung pada transportasi laut untuk mendukung distribusi barang antar pulau dan perdagangan internasional. Dalam kerangka menjaga keselamatan dan keamanan pelayaran, Kesatuan Penjaga Laut dan Pantai (KPLP) memainkan peran kunci sebagai lembaga yang bertanggung jawab terhadap penegakan hukum di sektor pelayaran. Sebelum revisi Undang-Undang No. 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran, kapal niaga sering kali diperiksa oleh berbagai instansi penegak hukum, termasuk Badan Keamanan Laut (Bakamla), TNI AL, Bea Cukai, dan Polri. Hal ini menimbulkan ketidakpastian hukum, memperlambat arus distribusi barang, dan menambah biaya operasional.
Revisi Pasal 276-281 UU No. 17/2008 menetapkan bahwa KPLP menjadi otoritas tunggal yang berwenang untuk memeriksa, menghentikan, dan menahan kapal niaga di perairan Indonesia, khususnya terkait keselamatan dan keamanan pelayaran. Kewenangan tunggal ini dirancang untuk menyederhanakan proses pemeriksaan dan memastikan efisiensi transportasi laut. Namun, kewenangan KPLP ini tidak meniadakan kewenangan lembaga-lembaga lain terkait pelanggaran hukum di luar sektor pelayaran, seperti penyelundupan, illegal fishing, ancaman militer, atau kejahatan maritim lainnya. Namun, penting untuk dicatat bahwa bila instansi lain seperti TNI, Polri, atau PSDKP menemukan pelanggaran hukum di laut, mereka harus berkoordinasi terlebih dahulu dengan KPLP sebelum menghentikan kapal, untuk menghindari potensi pra peradilan akibat tindakan penegakan hukum yang tidak sah.
Dalam artikel ini, selain menjelaskan peran KPLP sebagai otoritas tunggal dalam pemeriksaan kapal, namun tetap harus berkoordinasi dengan lembaga lain yang memiliki kewenangan atas pelanggaran hukum non-pelayaran, serta bagaimana konsep ini didukung oleh teori hukum, filsafat hukum, dan relevansi pra peradilan.
KPLP sebagai Kewenangan Tunggal dalam Pemeriksaan Kapal
Sebelum revisi UU No. 17 Tahun 2008, kapal niaga yang berlayar di perairan Indonesia harus menghadapi pemeriksaan oleh berbagai lembaga penegak hukum. Kapal dapat dihentikan dan diperiksa oleh Bakamla, TNI AL, Bea Cukai, dan Polri secara bergantian, yang menyebabkan penundaan pengiriman barang dan meningkatkan biaya operasional perusahaan pelayaran. Sebagai contoh, kapal pengangkut barang dari Sumatra ke Kalimantan harus menjalani beberapa pemeriksaan yang mengakibatkan penundaan pengiriman lebih dari sehari, memperlambat arus distribusi.
Revisi UU No. 17/2008 menetapkan bahwa KPLP memiliki kewenangan tunggal untuk melakukan pemeriksaan kapal niaga terkait dengan keselamatan pelayaran. KPLP bertanggung jawab atas:
- Pemeriksaan dokumen kapal terkait keselamatan dan standar operasional.
- Contoh pelanggaran: Kapal yang berlayar tanpa sertifikat kelaikan laut dapat dihentikan dan diperiksa oleh KPLP untuk memastikan bahwa dokumen tersebut sah dan masih berlaku.
- Patroli dan penghentian kapal untuk memastikan kepatuhan terhadap aturan pelayaran.
- Contoh pelanggaran: Kapal yang berlayar tanpa alat bantu navigasi yang sesuai, seperti radar atau alat komunikasi darurat, dapat dihentikan oleh KPLP.
- Pengejaran seketika (hot pursuit) terhadap kapal yang melanggar peraturan pelayaran.
- Contoh pelanggaran: Kapal yang melarikan diri dari inspektur pelayaran atau tidak menghentikan mesin setelah diberi tanda perintah dari KPLP dapat dikejar dan dihentikan.
- Penyidikan pelanggaran hukum di sektor pelayaran, termasuk pencemaran laut dan pelanggaran keselamatan.
- Contoh pelanggaran: Kapal yang membuang limbah berbahaya ke laut atau melanggar batas kecepatan di area pelabuhan dapat dikenakan sanksi dan diselidiki oleh KPLP.
Dengan penetapan KPLP sebagai otoritas tunggal dalam pemeriksaan kapal niaga, pemerintah menciptakan kepastian hukum bagi pelaku usaha pelayaran, mengurangi tumpang tindih pemeriksaan, dan meningkatkan efisiensi operasional. Hal ini menghindari duplikasi pemeriksaan oleh berbagai instansi, yang sebelumnya mengganggu kelancaran distribusi barang dan berdampak negatif terhadap biaya operasional.
Landasan Teori Hukum dan Filsafat
- Kepastian Hukum dalam Teori Hukum
Kepastian hukum (legal certainty) adalah salah satu prinsip fundamental dalam teori hukum yang diajukan oleh Hans Kelsen. Dalam Pure Theory of Law, Kelsen menyatakan bahwa hukum harus memberikan kepastian dan prediktabilitas dalam kehidupan masyarakat. Kepastian hukum adalah syarat penting agar para pelaku usaha dapat merencanakan kegiatan mereka dengan jelas, tanpa takut menghadapi tindakan hukum yang tidak dapat diprediksi.
Contoh kasus: Sebelum adanya revisi UU No. 17/2008, sebuah perusahaan pelayaran internasional melaporkan bahwa mereka mengalami penundaan dalam pengiriman barang karena diperiksa secara bergilir oleh Bakamla, Bea Cukai, dan KPLP, yang membuat mereka kehilangan kontrak dengan klien internasional akibat keterlambatan. Setelah revisi, dengan KPLP sebagai otoritas tunggal, perusahaan dapat merencanakan perjalanan mereka dengan lebih baik, tanpa harus menghadapi pemeriksaan bergilir yang tidak terprediksi.
- Efisiensi Birokrasi dalam Teori Max Weber
Menurut Max Weber, efisiensi dalam sistem birokrasi hanya dapat dicapai jika ada pembagian tugas dan otoritas yang jelas di antara lembaga-lembaga negara. Weber menekankan bahwa birokrasi yang ideal harus memiliki hierarki yang terstruktur dan pembagian kewenangan yang tegas, untuk menghindari tumpang tindih tugas dan meningkatkan efektivitas.
Revisi UU No. 17/2008 mencerminkan prinsip Weberian dengan memperjelas bahwa KPLP adalah satu-satunya lembaga yang berwenang melakukan pemeriksaan kapal terkait keselamatan pelayaran. Dengan adanya pembagian tugas yang jelas, tumpang tindih pemeriksaan oleh berbagai instansi dapat dihilangkan, yang pada akhirnya menciptakan efisiensi birokrasi dalam penegakan hukum di laut.
Contoh kasus: Sebelum revisi, sebuah kapal pengangkut bahan tambang dihentikan oleh TNI AL untuk pemeriksaan izin tambang dan kemudian dihentikan kembali oleh Bea Cukai untuk pemeriksaan terkait pajak. Dengan revisi ini, KPLP menjadi pemeriksa tunggal untuk izin pelayaran, sementara lembaga-lembaga lain fokus pada pelanggaran spesifik di luar pelayaran.
- Prinsip Koordinasi dalam Filsafat Hukum
Dalam konteks filsafat hukum, John Locke dan Montesquieu berbicara tentang pentingnya pemisahan kekuasaan(separation of powers) dan koordinasi antar lembaga untuk mencegah konsentrasi kekuasaan yang berlebihan dan menjaga keseimbangan pemerintahan. Teori ini menekankan bahwa masing-masing lembaga memiliki otoritas spesifik sesuai dengan tugas dan fungsinya, tetapi tetap harus berkoordinasi untuk mencapai tujuan yang lebih besar, yaitu kepentingan publik dan penegakan hukum yang efektif.
Pemberian kewenangan tunggal kepada KPLP untuk memeriksa kapal niaga tidak meniadakan kewenangan lembaga lain. Dalam kasus pelanggaran hukum di luar ranah pelayaran, seperti penyelundupan, illegal fishing, dan ancaman militer, KPLP wajib berkoordinasi dengan lembaga-lembaga yang memiliki kewenangan dalam bidang tersebut. Koordinasi ini memastikan bahwa penegakan hukum berjalan efektif dan tidak ada lembaga yang melampaui kewenangannya.
Koordinasi dengan Lembaga Lain untuk Pelanggaran Non-Pelayaran: Menghindari Pra Peradilan
Meskipun KPLP memiliki kewenangan tunggal dalam pemeriksaan kapal niaga terkait pelayaran, ada berbagai pelanggaran hukum lain yang terjadi di laut yang berada di luar kewenangan KPLP. Namun, untuk menghindari pra peradilan akibat tindakan penegakan hukum yang tidak sah, penting bagi lembaga lain seperti TNI, Polri, dan PSDKP untuk berkoordinasi terlebih dahulu dengan KPLP sebelum menghentikan atau menahan kapal niaga. Jika kapal dihentikan tanpa prosedur yang benar atau tanpa kewenangan yang sah, pemilik kapal dapat mengajukan pra peradilan untuk menuntut ganti rugi atau pembatalan tindakan tersebut.
- Penyelundupan Barang: Bea Cukai
Pelanggaran: Penyelundupan barang melalui jalur laut, seperti narkotika, senjata, atau komoditas ilegal.
Kewenangan: Bea Cukai memiliki otoritas untuk menindak pelanggaran terkait penyelundupan barang dan pelanggaran hukum terkait perdagangan dan pajak di perairan.
Koordinasi dengan KPLP: Sebelum menghentikan atau menahan kapal, Bea Cukai harus berkoordinasi dengan KPLP untuk memastikan prosedur yang sah dan menghindari potensi pra peradilan akibat tindakan penegakan yang tidak sah.
Contoh pelanggaran: Pada tahun 2020, sebuah kapal kargo ditemukan mengangkut narkotika senilai miliaran rupiah yang disembunyikan dalam kontainer. Setelah ditemukan oleh KPLP, kasus ini diserahkan kepada Bea Cukai dan Polri untuk penyidikan lebih lanjut.
- Illegal Fishing: PSDKP
Pelanggaran: Illegal, Unreported, and Unregulated Fishing (IUUF), yang mencakup penangkapan ikan tanpa izin atau menggunakan metode yang merusak ekosistem laut.
Kewenangan: Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP) memiliki kewenangan untuk menegakkan hukum terkait perikanan di laut.
Koordinasi dengan KPLP: Jika PPSDKP menemukan kapal yang diduga melakukan illegal fishing, mereka harus berkoordinasi dengan KPLP sebelum menghentikan kapal untuk memastikan bahwa tindakan tersebut sah di bawah ketentuan pelayaran.
Contoh pelanggaran: Pada 2019, KPLP menemukan kapal asing yang melakukan penangkapan ikan ilegal di zona ekonomi eksklusif (ZEE) Indonesia. Setelah penemuan ini, KPLP menyerahkan kasus tersebut kepada PPSDKP untuk proses hukum lebih lanjut.
- Ancaman Militer: TNI AL
Pelanggaran: Ancaman militer, seperti penyusupan kapal asing atau aktivitas militer ilegal.
Kewenangan: TNI AL bertanggung jawab atas keamanan negara di wilayah perairan dan menangani ancaman militer.
Koordinasi dengan KPLP: TNI AL harus berkoordinasi dengan KPLP sebelum menghentikan kapal niaga yang dicurigai terlibat dalam aktivitas militer ilegal untuk memastikan bahwa prosedur yang benar telah diikuti.
Contoh pelanggaran: Pada 2018, KPLP mendeteksi kapal asing yang dicurigai membawa peralatan militer tanpa izin yang sah. Kasus ini diserahkan kepada TNI AL untuk ditindaklanjuti sebagai ancaman terhadap keamanan negara.
- Perompakan dan Pencurian di Laut: Polri
Pelanggaran: Perompakan, pencurian, atau pembajakan kapal di perairan.
Kewenangan: Polri memiliki kewenangan untuk menegakkan hukum terkait kejahatan kriminal di laut, termasuk perompakan dan pencurian.
Koordinasi dengan KPLP: Polri harus berkoordinasi dengan KPLP sebelum menghentikan kapal yang diduga terlibat dalam tindak pidana untuk memastikan bahwa tindakan tersebut sah dan sesuai dengan ketentuan hukum pelayaran.
Contoh pelanggaran: Pada 2021, kapal niaga yang sedang berlayar di dekat Selat Malaka diserang oleh perompak. KPLP menangani keamanan awal, kemudian menyerahkan kasus ini kepada Polri untuk penyelidikan dan proses hukum lebih lanjut.
Kesimpulan
Revisi UU No. 17 Tahun 2008 yang memberikan kewenangan tunggal kepada KPLP untuk memeriksa kapal terkait pelayaran membawa kepastian hukum dan efisiensi operasional dalam penegakan hukum di laut. Dengan KPLP sebagai otoritas tunggal, tumpang tindih kewenangan yang sebelumnya sering terjadi dapat dihindari, menciptakan proses penegakan hukum yang lebih jelas dan terstruktur.
Namun, penting untuk dicatat bahwa kewenangan tunggal ini hanya berlaku dalam konteks pelayaran. Untuk pelanggaran hukum di luar pelayaran, seperti penyelundupan, illegal fishing, ancaman militer, dan perompakan, KPLP tetap harus berkoordinasi dengan lembaga lain seperti Bea Cukai, PSDKP, TNI AL, dan Polri. Untuk menghindari pra peradilan, instansi tersebut juga harus berkoordinasi dengan KPLP sebelum mengambil tindakan terhadap kapal niaga, memastikan bahwa seluruh prosedur telah dijalankan dengan sah dan sesuai hukum.
Revisi UU ini tidak hanya memastikan kelancaran arus distribusi barang melalui jalur laut tetapi juga mendukung pertumbuhan ekonomi nasional melalui peningkatan efisiensi transportasi laut. (saptana/2024)
Referensi:
- Kelsen, Hans. Pure Theory of Law. University of California Press, 1967.
- Weber, Max. Economy and Society: An Outline of Interpretive Sociology. University of California Press, 1978.
- Montesquieu, Charles de Secondat. The Spirit of the Laws. Cambridge University Press, 1989.
- Coase, Ronald. The Problem of Social Cost. Journal of Law and Economics, 1960.
- Smith, Adam. The Wealth of Nations. Random House, 1994.
- Undang-Undang No. 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran.